Kasus Trans7 dan Pondok Pesantren Lirboyo: Sebuah Refleksi Sosial, Hukum, dan Psikologis
Ditulis oleh: Santri Puncak Bogor |berdasar berita dari dari CNN Indonesia, Jatim Times & NU Online|Dipublikasikan: 16 Oktober 2025
1. Latar Belakang Kasus
Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh kritik keras dari masyarakat dan kalangan pesantren terhadap salah satu tayangan Trans7 yang dinilai menyinggung simbol-simbol keagamaan, khususnya yang terkait dengan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video tersebut viral dan memicu protes publik hingga permintaan maaf resmi dari pihak stasiun televisi.
Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya sensitivitas masyarakat terhadap simbol agama dan nilai moral, terutama ketika lembaga penyiaran dianggap melampaui batas etika publik.
2. Perspektif Sosiologis: Benturan Nilai dan Struktur Sosial
Dari sudut pandang sosiologi komunikasi, kasus ini mencerminkan benturan antara budaya industri media dan budaya religius masyarakat pesantren. Media massa cenderung mengedepankan hiburan dan rating, sedangkan pesantren menekankan nilai moral dan kesopanan.
Teori “cultural lag” William Ogburn menjelaskan bahwa media sering bergerak cepat dalam inovasi, sementara masyarakat religius bergerak lebih lambat dalam menerima perubahan nilai. Oleh karena itu, dialog sosial dan pemahaman lintas nilai menjadi kunci menghindari kesalahpahaman di masa depan.
3. Perspektif Hukum: Etika Penyiaran dan Tanggung Jawab Media
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) serta Standar Program Siaran (SPS), disebutkan bahwa:
Isi siaran wajib menghormati nilai dan norma agama serta tidak merendahkan martabat kelompok masyarakat tertentu.
Jika terbukti melanggar, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berwenang memberikan sanksi berupa teguran, penghentian tayangan, hingga denda administratif. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab media bukan hanya moral, tetapi juga hukum publik.
4. Perspektif Psikologis: Persepsi Kolektif dan Luka Simbolik
Dari sisi psikologi sosial, komunitas pesantren memiliki identitas kolektif yang kuat. Ketika simbol keagamaan mereka disentuh secara negatif, muncul apa yang disebut luka simbolik — rasa tersinggung yang lahir dari pembelaan terhadap identitas sosial.
Teori Henri Tajfel tentang identitas sosial menjelaskan bahwa kelompok sosial akan mempertahankan kehormatannya saat merasa terancam oleh pihak luar. Ini menjelaskan mengapa reaksi publik terhadap kasus ini begitu kuat dan emosional.
5. Perspektif Etika dan Media: Antara Kebebasan dan Kehormatan
Kebebasan berekspresi adalah hak, tetapi tidak absolut. Dalam masyarakat Indonesia yang berakar pada nilai agama dan budaya ketimuran, kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab moral dan empati sosial.
Etika media tidak hanya soal hukum, tetapi komitmen terhadap rasa hormat dan sensitivitas budaya. Media harus menjadi jembatan informasi, bukan pemicu luka sosial.
6. Dampak Sosial dan Hubungan Media-Pesantren ke Depan
Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak:
- Bagi media: pentingnya riset budaya dan konsultasi etika sebelum menayangkan konten bernuansa agama.
- Bagi pesantren: perlunya literasi media agar dialog dengan dunia penyiaran menjadi lebih konstruktif.
Ke depan, sinergi antara lembaga penyiaran dan pesantren bisa diwujudkan dalam program literasi media Islami yang edukatif dan membangun harmoni sosial.
7. Kesimpulan: Mencari Jalan Tengah Antara Rating dan Rasa Hormat
Kasus Trans7 dan Lirboyo mengajarkan bahwa keberagaman nilai harus disertai kehati-hatian dalam komunikasi publik. Media memang berperan besar membentuk opini, namun pesantren adalah penjaga moral bangsa. Keseimbangan antara rating dan rasa hormat menjadi fondasi ruang publik yang harmonis, cerdas, dan beradab.
hr>
🔗 Rekomendasi Artikel Terkait di villa-puncak.com:
- Kampus Alam Starcamp – Ketika Lliburan indah menjadi Sekolah Kehidupan
- Wisata Religi di Puncak Bogor – Harmoni antara Alam & Kedamaian Hati
- Refleksi Uzlah di Puncak: Antara Keheningan, Alam, dan Jiwa
